Setelah Serangan Balasan Israel ke Iran

Israel melakukan serangan balasan ke Iran, Jumat (19/4) pagi. Langkah ini cukup mengejutkan karena sekutunya, Amerika, telah menyatakan tak akan ikut.

03 November 2024 - 19:05 WIB

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hubungan Iran dan Israel semakin memanas usai serangan di Damaskus, Suriah. Serangan Iran kali ini sebagai respons atas seragan Israel pada 1 April. Simak berita terbaru hanya di sini.

Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.

Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.

© 2007 - 2024 Okezone.com,

Meminjam istilah kedokteran terkait orang yang terkena gejala serangan stroke, fase yang sangat menentukan dalam perang Israel-Iran ini bisa disebut dengan istilah golden period (periode emas). Maka, sebagaimana periode emas yang terbatas dalam konteks stroke (hanya 3-4 jam 30 menit), dalam pandangan penulis, golden period perang Israel-Iran juga sangat terbatas; hanya dari 26 Oktober 2024 sampai 5 November 2024.

Kenapa 26 Oktober? Tak lain karena pada hari itu Israel melakukan serangan balasan terbatas kepada Iran. Dalam banyak kesempatan, penulis menyebut serangan balasan Israel ke Iran terakhir sebagai serangan yang telah dikompromikan untuk saling menjaga nama baik dan kehormatan, khususnya di mata rakyat kedua negara; Israel dan Iran.

Baca juga: Gambaran Perang Terbuka Iran-Hizbullah Versus Israel

Ada tiga hal yang bisa dijadikan dasar dari analisis di atas. Pertama, serangan balasan yang dilakukan Israel tidak menarget sasaran vital, seperti program nuklir Iran atau tempat-tempat terkait perminyakan.

Padahal, ketika baru mendapatkan serangan balasan dari Iran pada 1 Oktober lalu (sebagai balasan dari pelbagai macam aksi Israel yang mempermalukan Iran, seperti pembunuhan Ismael Haniyeh), Israel bersumpah akan melakukan serangan yang sangat keras terhadap Iran.

Bahkan, serangan balasan Israel disebut-sebut akan menargetkan program nuklir atau perminyakan Iran. Namun, serangan balasan Israel ternyata hanya menargetkan pabrik rudal dan sistem pertahanan yang jauh dari target besar sebagaimana disebutkan di atas.

Kedua, Israel tampak sangat hati-hati dalam melakukan serangan balasan terhadap Iran. Menurut sejumlah media di Timur Tengah, serangan balasan Israel dilakukan dengan menggunakan ruang udara Irak yang diizinkan kepada pasukan AS untuk digunakan.

Dengan demikian, serangan balasan Iran pada 26 Oktober lalu tidak dalam bentuk pelanggaran langsung terhadap kedaulatan udara Iran walaupun serangan tersebut melanggar kedaulatan udara Irak. Kondisi seperti ini bisa menjadi alasan bagi tidak terjadinya eskalasi lebih lanjut antara Iran dan Israel.

Tentu ini momentum yang penting menuju tercapainya perdamaian atau kesepakatan gencatan senjata antara Israel dan Iran.

Ketiga, serangan balasan Israel disebut telah diberitahukan sebelumnya kepada pihak Iran melalui mediator tidak langsung. Menurut sebagian media di Timur Tengah, pemberitahuan rencana serangan dilakukan oleh salah satu menlu negara Eropa dan pejabat Irak. Seakan mengonfirmasi pemberitahuan ini, Menteri Luar Negeri Iran Abbas Araghchi menyatakan bahwa negaranya mendapatkan ”isyarat” sebelumnya terkait serangan balasan Israel (Aawsat.com, 27/10/2024).

Apabila benar serangan telah dikondisikan sebagaimana di atas, Israel dapat disebut juga menginginkan perang dengan Iran tidak terus berlanjut. Tentu ini momentum yang penting menuju tercapainya perdamaian atau kesepakatan gencatan senjata antara Israel dan Iran. Apabila dimungkinkan juga antara Israel dan Hizbullah, bahkan juga dengan Hamas (walaupun sepertinya akan lebih berat dalam konteks Hamas).

Foto yang dirilis oleh Kantor Pemimpin Tertinggi Iran memperlihatkan Pemimpin Tertinggi Iran Ayatollah Ali Khamenei berbincang-bincang dengan sejumlah petinggi Pasukan Garda Revolusi Iran, termasuk Kepala Staf Angkatan Udara Pasukan Garda Revolusi Iran Brigadir Jenderal Amir Ali Halizadeh (kiri), di kantornya di Teheran, Iran, Senin (6/10/2024). Iran bersiap-siap menghadapi potensi serangan Israel ke wilayahnya.

Kenapa 5 November? Tak lain karena ini adalah waktu pelaksanaan Pemilihan Presiden Amerika Serikat (Pilpres AS). Pilpres AS bisa menjadi momentum perdamaian karena tercapainya kesepakatan perdamaian sebelum pelaksanaan Pilpres AS bisa disebut sebagai salah satu target politik luar negeri AS (terkait perang Israel-Iran) yang selama ini konsisten dengan kebijakan de-eskalasi.

Secara politik elektoral, perang Israel saat ini hanya membuat posisi politik Presiden Joe Biden-Wakil Presiden Kamala Harris (juga Partai Demokrat secara umum) terjebak di sana-sani. Bahkan, secara politik elektoral, perang Israel sekarang ini hanya menguntungkan kubu Donald Trump dari Partai Republik yang selama ini memang dikenal doyan perang.

Dalam perkembangan terbaru pada Kamis (31/10/2024), Penasihat Khusus Presiden Joe Biden terkait Lebanon dan Timur Tengah diberitakan berkunjung ke Israel untuk melanjutkan perundingan tidak langsung antara Hizbullah dan Israel. Perundingan di Israel yang diberitakan ”tidak terlalu menggembirakan” merupakan lanjutkan dari upaya sebelumnya yang dilakukan pihak AS di Lebanon (Al-jazeera.net, 31/10/2024).

Pada tahap tertentu, Iran dan Israel saat ini, di satu sisi, bisa dikatakan sama-sama menang alias imbang. Israel dikatakan menang karena telah mencapai target-target yang sangat maksimal, mulai dari keberhasilan membunuh Ismail Haniyeh di Iran, membunuh Hassan Nasrallah, dan tokoh-tokoh Hizbullah lain. Bahkan, Israel juga berhasil membunuh Yahya Sinwar. Di kalangan kelompok perlawanan, tak ada tokoh lain yang lebih besar daripada nama-nama di atas.

Baca juga: Jalur Udara Irak, Pintu Serangan Israel ke Iran

Keberhasilan menghancurkan sebagian sistem persenjataan Hamas dan Hizbullah bisa dijadikan sebagai indikator lain dari kemenangan Israel dalam perang kali ini. Ditambah lagi keberhasilan Israel menemukan ruang bawah tanah yang dimiliki Hamas dan Hizbullah. Semua ini sudah lebih dari cukup untuk dijadikan sebagai indikator kemenangan Israel.

Pada waktu bersamaan, Iran juga dapat disebut telah mencapai kemenangan dalam perang kali ini. Untuk pertama kali sejak dideklarasikan pada 1948, Israel merasakan arti diserang oleh rudal-rudal Iran yang mencapai ratusan. Bahkan, keberhasilan Iran menyerang Israel sampai terulang dua kali, yaitu pada 14 April 2024 dan 1 Oktober 2024.

Keberhasilan serangan-serangan yang dilakukan Hizbullah juga bisa disebut sebagai indikator kemenangan bagi Iran. Mengingat peran Iran sangat besar dalam tumbuh-kembang kelompok perlawanan, seperti Hizbullah, Hamas, dan Houthi.

Iran berhasil memecah mitos Israel sebagai satu-satunya kekuatan adidaya di Timur Tengah. Keberhasilan serangan-serangan yang dilakukan oleh Iran dan proksi-proksinya harus dijadikan kalkulasi lebih teliti oleh Israel sebelum menyerang Iran ataupun proksi-proksinya.

Gempuran Israel ke Hizbullah Lebanon, tidak sampai 24 jam dibalas oleh Iran. Pemimpin Tertinggi Iran Ayatollah Ali Khamenei memerintahkan menembakkan sekitar 200 rudal balistik Iran ke Israel, Selasa (1/10/2024). Berhasilkah serangan ini? Lalu, bagaimana tanggapan Israel? Dan, bagaimana perbandingan kekuatan Iran-Israel di atas kertas?

Meski demikian, di sisi yang lain, kemenangan Israel dan Iran harus dibayar dengan harga yang sangat mahal. Bagi Israel, kemenangan besarnya harus dibayar dengan hilangnya citra sebagai negara adidaya satu-satunya di Timur Tengah. Ditambah lagi dengan hilangnya banyak dukungan dunia internasional terhadap Israel.

Paling mahal dari semua itu adalah hilangnya jaminan keamanan atau kenyamanan bagi warga Israel. Dalam beberapa bulan terakhir, angka eksodus warga Israel ke luar negeri dilaporkan meningkat hingga mencapai puluhan ribu. Inilah salah satu hal yang membuat Israel harus segera menghentikan perangnya, minimal untuk beberapa waktu ke depan.

Hal yang kurang lebih sama juga dialami oleh Iran. Negeri kaum Mullah itu harus membayar kemenangan besarnya dengan harga yang sangat mahal. Mulai dari keberhasilan Israel menembus sistem pengamanan terdalam Iran, terbunuhnya tokoh-tokoh kunci seperti Hassan Nasrallah, Sinwar, dan Haniyeh (bahkan nama yang terakhir dibunuh Israel saat berada di Iran).

Bagi Israel, kemenangan besarnya harus dibayar dengan hilangnya citra sebagai negara adidaya satu-satunya di Timur Tengah.

Namun, yang paling mahal bagi Iran adalah keberhasilan Israel memorakporandakan Hizbullah sebagai salah satu proksi andalannya. Hingga akhirnya tokoh-tokoh kunci Hizbullah dengan mudah menjadi target serangan dan pembunuhan oleh Israel.

Ibarat tombak, Hizbullah adalah pegangan tombak bagi Iran. Sementara Hamas adalah ujung dari tombak itu. Dengan keberhasilan Israel memorakporandakan Hizbullah, Iran seperti orang yang kehilangan pegangan tombaknya. Inilah salah satu hal yang memaksa Iran untuk menghentikan perangnya dalam waktu yang secepat-cepatnya.

Di sini dapat ditegaskan, golden period adalah momentum sekaligus titik temu kepentingan antara Israel, Iran (beserta proksi-proksinya), dan AS. Namun, sebagaimana telah disampaikan di atas, golden period ini sangat singkat; hanya sampai 5 November mendatang.

Sementara dinamika di lapangan sangat cepat, khususnya dengan adanya semangat pantang terlihat lemah, apalagi menyerah, dari Israel dan Iran. Bahkan, dalam perkembangan terbaru, sikap dari kedua negara cenderung meningkat kembali (setidaknya apabila dibandingkan dengan beberapa waktu setelah Israel menyerang balik Iran pada 26 Oktober 2024).

Gambar ini menunjukkan pemandangan kehancuran setelah serangan udara Israel semalaman di lingkungan Kafaat di pinggiran selatan Beirut pada 7 Oktober 2024.

Oleh karena itu, semua pihak terkait harus mengejar momentum golden period ini. Apabila momentum emas ini terlewatkan tanpa adanya kesepakatan damai antara Israel dan proksi-proksi Iran, hanya ada dua kemungkinan yang akan terjadi ke depan.

Pertama, Pilpres AS dimenangi oleh Trump. Apabila ini yang terjadi, besar kemungkinan perang yang ada akan berlanjut dengan keberpihakan AS yang lebih total kepada Israel. Di bawah kepemimpinan Trump, kebijakan AS terkait konflik Israel-Palestina akan lebih mengabaikan dan mencampakkan Palestina (seperti dalam kasus pemindahan Kedubes AS ke Jerusalem dan Kesepakatan Abraham yang dilakukan tanpa melibatkan Palestina).

Inilah yang ditunggu-tunggu oleh Netanyahu. Menurut penulis, ini juga yang membuat Netanyahu menggunakan politik ulur waktu (siyasatul mumathalah) terkait dengan gencatan senjata yang terus gagal sampai sekarang.

Dengan kata lain, Netanyahu sengaja ingin melanjutkan perang yang ada. Mengingat perang yang ada menjadi dukungan tak langsung bagi Trump. Di ujungnya, Trump diharapkan memenangi Pilpres AS dan kembali memberikan dukungan tanpa batas kepada Netanyahu (Israel). Di samping demi kepentingan pribadi Netanyahu, seperti mengamankan dirinya dari proses hukum yang dialami sebelum terjadinya serangan pada 7 Oktober 2023.

Baca juga: Lorong Panjang Perang Timur Tengah

Kedua, Pilpres AS dimenangkan oleh Kamala Harris. Apabila ini yang terjadi, besar kemungkinan kebijakan AS yang bersifat deeskalasi akan terus dilanjutkan. Bahkan, besar kemungkinan Harris akan jauh lebih kuat memaksa Netanyahu untuk mencapai kesepakatan damai sekaligus mengakhiri perang. Tidak hanya karena latar belakang politik Harris dengan Netanyahu yang tidak terlalu kompatibel, tetapi juga karena pelbagai macam kebrutalan Israel di Gaza dan Lebanon bisa merusak citra AS sebagai negeri yang menghormati demokrasi, HAM, dan kebebasan sipil.

Sejauh ini Netanyahu memimpin perang Israel dengan mengabaikan semua tata nilai dan hukum internasional. Kalaupun tidak ada sistem hukum yang menjerat Israel saat ini, hal itu tak berarti tidak ada pelanggaran. Akan tetapi, lebih karena peran AS yang terus melindungi dan membela Israel, khususnya melalui hak veto yang dimiliki di PBB.

Perang Israel-Iran bisa disebut sebagai imbas tidak langsung dari perang Israel-Hamas yang dimulai dari serangan Hamas pada 7 Oktober 2023. Hizbullah melibatkan diri dalam perang ini sejak 8 Oktober 2023 dan menjadi perang langsung setelah peledakan penyeranta atau pager secara berantai di Lebanon pada 17 September dan pembunuhan Hassan Nasrallah pada 27 September 2024. Sementara Iran-Israel terseret dalam perang ini setelah Iran menyerang Israel secara langsung pada 14 April 2024 yang dianggap sebagai balasan atas serangan Israel terhadap Konsulat Iran di Damaskus pada 1 April 2024.

Hasibullah Satrawi, Pengamat politik Timur Tengah dan Dunia Islam

© 2024 Trans Media, CNN name, logo and all associated elements (R) and © 2024 Cable News Network, Inc. A Time Warner Company. All rights reserved. CNN and the CNN logo are registered marks of Cable News Network, Inc., displayed with permission.